Palembang, KOTABARI.COM – Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) kembali menjadi sorotan akibat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang mengakibatkan kualitas udara di Kota Palembang menjadi tidak sehat. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan, Yulisman, menyebutkan bahwa Sumsel telah menjadi langganan kebakaran saat musim kemarau dan merupakan salah satu penyumbang kabut asap.
Menurut Yulisman, tren kebakaran hutan dan lahan di Sumsel terus berlanjut sejak tahun 2015 hingga 2019, terutama karena curah hujan yang minim dan kemarau ekstrim akibat El Nino. Kabut asap yang melanda bukanlah bencana alam, melainkan dampak dari aktivitas manusia, khususnya kebakaran hutan dan lahan.
Walhi menyebutkan Sumsel sebagai “lumbung asap” karena masalah kabut asap di sana selalu berulang dan sulit diatasi baik dalam upaya pencegahan maupun pemadaman kebakaran. Ada banyak faktor yang membuat lahan di Sumsel rentan terbakar selama musim kemarau, termasuk aktivitas industri seperti perkebunan kelapa sawit dan industri hutan tanaman industri (HTI) yang menggunakan luas lahan yang signifikan.
Menurut Yulisman, luas lahan HTI di Sumsel mencapai lebih dari 1 juta hektare, begitu juga dengan perkebunan kelapa sawit. Aktivitas ini telah merusak hutan dan lahan, mengganggu ekosistem, dan mengubah bentang alam, sehingga membuat wilayah tersebut lebih rentan terhadap kebakaran.
Yulisman juga menekankan bahwa warga tidak seharusnya dipersalahkan sepenuhnya, karena ada beberapa oknum yang bertanggung jawab atas kondisi tersebut. Dahulu, ketika gambut masih alami dan hutan lebat, kebakaran jarang terjadi saat berladang. Namun, dengan perubahan kondisi saat ini karena lahan konsesi, HTI, dan perkebunan kelapa sawit, ekosistem tersebut telah terganggu.
Yulisman memberikan saran bahwa pemerintah harus bertindak tegas dalam upaya pencegahan Karhutla. Masyarakat tidak seharusnya menjadi inisiasi kebakaran ini. Pemegang konsesi, seperti industri HTI dan perkebunan kelapa sawit, harus bertanggung jawab atas wilayah landscape mereka.
“Pemerintah harus bertindak tegas. Kebakaran hutan dan lahan tidak boleh menjadi proyek. Pencegahan harus melibatkan pemangku kepentingan kunci dan pemegang konsesi harus bertanggung jawab atas wilayah landscape mereka,” ungkap Yulisman.
Dengan meningkatnya kekhawatiran terkait kualitas udara yang buruk dan dampak ekologis Karhutla di Sumsel, tindakan tegas dan kerja sama antara pemerintah, industri, dan masyarakat akan menjadi kunci untuk mengatasi masalah ini secara efektif dan berkelanjutan.